Wednesday, April 4, 2012

Menghadapi Keraguan dan Harga Diri


Aku menyadari bahwa, sekalipun aku dan teman-teman perempuanku berpegang pada Tuhan dan memberitahu diri sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja, sungguh sulit untuk tidak menyerah pada keraguan. Sebagai makhluk sosial, kadang-kadang aku mendapati, ternyata sulit untuk tidak melihat kelebihan dan kepunyaan orang lain (materi ataupun bukan) dan bertanya-tanya apakah aku bisa lebih baik dari diriku yang sekarang.

Pada usia tertentu, ketika teman-teman sebaya tampaknya sudah lebih “mapan hidupnya” – tinggal nyaman bersama keluarga dan anak-anak, karirnya berhasil, atau, sederhananya, makmur – sungguh menggoda untuk mulai mempertanyakan apa sebenarnya yang kulakukan dengan hidupku. Tentu saja, rancangan agungnya amat jelas: aku adalah anak Tuhan, ada di bumi ini untuk melakukan bagianku di dalam kehendak-Nya dan menyelesaikan pekerjaan yang Ia percayakan kepadaku. Tetapi, kadang-kadang aku bertanya-tanya apakah keadaanku sekarang ini adalah akibat yang harus ditanggung karena mengambil pilihanpilihan yang salah.
 Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke
dalam percobaan, ke dalam jerat dan ke
dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan
yang mencelakakan, yang menenggelamkan
manusia ke dalam keruntuhan dan
kebinasaan. Karena akar segala kejahatan
ialah cinta uang. Sebab oleh memburu
uanglah beberapa orang telah menyimpang
dari iman dan menyiksa dirinya dengan
berbagai-bagai duka. (1Tim. 6:9,10)
Aku tidak yakin ada satu titik dalam kehidupan kita ketika kita bisa bilang bahwa kita sudah sepenuhnya mengatasi dilema ini. Hampir sepanjang waktu, rasa harga diri kita diukur dengan seberapa banyak kita bisa mengumpulkan bendabenda materi dan dengan status kita di “dunia nyata”. Waktu masih kuliah, semua orang kelihatannya sederajat denganku, jadi rasa harga diriku sebagai seorang pelajar kurang lebih sama tingginya dengan semua orang lain. Tetapi setelah lulus, ada yang melanjutkan ke strata dua, ada yang mengambil gelar profesional, dan yang lainnya tetap menganggur. Saat itulah harga diri dan keraguan muncul ke permukaan. Kadang-kadang, keraguan dan kurangnya harga diriku merupakan pertanda bahwa aku menginginkan lebih dari yang kubutuhkan. Aku meragukan diriku sendiri dan mungkin tanpa sengaja mengecewakan Tuhan, karena meragukan diri sendiri sama artinya dengan meragukan apa yang bisa Tuhan lakukan. Kita perlu hidup sesuai dengan kemampuan kita. Segala yang kita miliki berasal dari Tuhan. Jika kita bisa
menyeimbangkan kepuasan hati dengan seberapa sedikit atau seberapa banyak kita diberi dan, melalui semua itu, tidak pernah lupa bersyukur kepada Tuhan, aku yakin rasa harga diri kita akan ikut meningkat (Wanita kristen didalam diri kita)

Sumber: S dan L – Amerika Serikat 

No comments:

Post a Comment